Pertanian Indonesia Dalam Dominasi Politik Global

Prof. Dr. Mubyarto dalam beberapa tulisannya sangat risau dengan kondisi pertanian Indonesia yang berhadapan dengan pertanian Negara lain. Kegundahan hati beliau terutama diseputar kebijakan ekonomi makro baik fiskal, moneter, investasi maupun perdagangan yang kurang, bahkan sama sekali tidak memihak dan mengorbankan kepentingan pembangunan sektor pertanian. Kebijakan yang diterapkan terlalu bias perkotaan, jasa dan industri, seperti otomotif, petrokimia, tekstil, baja, properti, dll dan terus mendorong proses konglomerasi yang merapuhkan fondasi perekonomian nasional.

Diskriminasi politik terhadap sektor pertanian tersebut sangat paradoksal, padahal disadari atau tidak perekonomian nasional masih bertumpu kepada sektor pertanian. Peran agribisnis pertanian yang sangat strategis, jelas dapat dilihat dari sumbangannya pada tahun 2003 sebesar 12% kepada PDB nasional serta menyediakan kesempatan kerja kurang lebih 60% dari total tenaga kerja keseluruhan, juga sebagai penyedia pangan bagi 220 juta penduduk, bahan baku industri, sumber devisa, sekaligus menjadi pasar potensial bagi produk-produk sektor manufaktur. Lebih dari itu sektor pertanian khususnya petani pangan memberikan kontribusi yang sangat siknifikan kepada stabilitas nasional melalui penciptaan ketahanan pangan.

Lambannya percepatan pembangunan pertanian selama 60 tahun merdeka menyebabkan pertanian kita tertinggal 5 – 15 tahun dari kemajuan beberapa negara berkembang lainnya, bahkan 30 – 40 tahun dari negara-negara maju. Dan kedepan menjadi lebih tertinggal lagi jika percepatan pembangunan pertanian di negeri ini tidak mampu melampaui bangsa-bangsa lain.

Sebagai bangsa yang besar dalam artian populasi penduduk dan potensi sumberdaya alam, belum terlalu terlambat untuk mereposisi dan mendesain strategi dan kebijakan nasional guna meraih mimpi 20 tahun mendatang untuk mewujudkan pertanian industrial moderen yang tangguh dan berkelanjutan.

Untuk itu kita harus mampu melepaskan diri dari perangkap skenario global yang sangat merugikan petani dan pertanian. Dalam konteks globalisasi ada kecenderungan terjadinya proses perluasan pemiskinan negara-negara berkembang di dunia (globalisation of poverty). Pada tahun 1997 1,3 milyar penduduk dunia hidup < US$ 1/kapita/hari dan 2,8 milyar penduduk hidup < US$ 2/kapita/hari termasuk 840 juta penduduk dunia kelaparan. Lebih dari 1 milyar penduduk dunia tidak mempunyai akses cukup terhadap air, 2 milyar penduduk tidak punya akses cukup tehadap obat-obatan esensial.

Bank Dunia memperkirakan 18 % dari Dunia Ketiga ekstrim miskin dan 33 % miskin. Di Indonesia sendiri terdapat 37,3 juta jiwa penduduk miskin (17,42%) dan sebagian kecil dari jumlah tersebut busung lapar (2003). Ekonomi Dunia dikendalikan oleh segelintir perusahaan multinasional (Trans National Corporation/TNCs), yang bermitra dengan lembaga/ internasional membangun skenario ekonomi global.

TNCs melakukan penetrasi dan pengaruh dominannya dalam perdagangan global. 500 TNCs terbesar mengendalikan 70% perdagangan dunia (1/3 perdagangan dunia dikendalikan oleh manajemen yang berbeda tapi dari perusahaan yang sama), 80% investasi luar negeri dan 30% output dunia. Dari 100 TNCs terbesar, 38 berpusat di Eropa Barat, 29 di US dan 16 di Jepang. Dari 500 TNCs terbesar di dunia, hanya 29 berpusat di negara miskin.

 UNDP mengestimasi perbandingan pendapatan penduduk negara-negara terkaya dan termiskin dunia yang semakin menajam, yaitu 11 : 1 (1913); 35 : 1 (1950); 44 : 1 (1973) dan 72 :1 (1992). Padahal visi global 2020 dengan penduduk 8 milyar adalah menciptakan suatu dunia yang bebas dari kemiskinan, kelaparan/lapar gizi dan ketidak-seimbangan manajemen sumber daya alam. Ledakan pertumbuhan populasi penduduk dunia merupakan masalah fundamental global yang perlu mendapat perhatian khusus.

Menyimak fenomena tersebut, dituntut adanya perubahan pola pikir yang mendasar (mindset change) dari elite politik dan birokrat selaku pengambil keputusan. Tanpa sektor agribisnis yang moderen dan tangguh dengan daya saing yang tinggi, fundamental perekonomian negara akan sangat rapuh dan lamban berkembang menuju industrialisasi dalam perspektif jangka panjang.

PERAN DAN SOSOK PERTANIAN INDONESIA

Peran Strategis Sektor Pertanian
Pertanian di Indonesia abad 21 harus dipandang sebagai suatu sektor ekonomi yang sejajar dengan sektor lainnya. Sektor ini tidak boleh lagi hanya berperan sebagai aktor pembantu apalagi figuran bagi pembangunan nasional seperti selama ini diperlakukan, tetapi harus menjadi pemeran utama yang sejajar dengan sektor industri. Karena itu sektor pertanian harus menjadi sektor moderen, efisien dan berdaya saing, dan tidak boleh dipandang hanya sebagai katup pengaman untuk menampung tenaga kerja tidak terdidik yang melimpah ataupun penyedia pangan yang murah agar sektor industri mampu bersaing dengan hanya mengandalkan upah rendah.

Terpuruknya perekonomian nasional pada tahun 1997 yang dampaknya masih berkepanjangan hingga saat ini membuktikan rapuhnya fundamental ekonomi kita yang kurang bersandar kepada potensi sumberdaya domestik. Pengalaman pahit krisis moneter dan ekonomi tersebut memberikan bukti empiris bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling tangguh menghadapi terpaan yang pada gilirannya memaksa kesadaran publik untuk mengakui bahwa sektor pertanian merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan sektor andalan dan pilar pertahanan dan penggerak ekonomi nasional. Kekeliruan mendasar selama ini karena sektor pertanian hanya diperlakukan sebagai sektor pendukung yang mengemban peran konvensionalnya dengan berbagai misi titipan yang cenderung hanya untuk mengamankan kepentingan makro yaitu dalam kaitan dengan stabilitas ekonomi nasional melalui swasembada beras dalam konteks ketahanan pangan nasional.

Secara implisit sebenarnya stabilitas nasional negeri ini di bebankan kepada petani yang sebagian besar masih tetap berada di dalam perangkap keseimbangan lingkaran kemiskinan jangka panjang (the low level equilibrium trap). Pada hakekatnya sosok pertanian yang harus dibangun adalah berwujud pertanian modern yang tangguh, efisien yang dikelola secara profesional dan memiliki keunggulan memenangkan persaingan di pasar global baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor (sumber devisa). Dengan semakin terintegrasinya perekonomian indonesia ke dalam perekonomian dunia, menuntut pengembangan produk pertanian harus siap menghadapi persaingan terbuka yang semakin ketat agar tidak tergilas oleh pesaing-pesaing luar negeri. Untuk itu paradigma pembangunan pertanian yang menekankan pada peningkatan produksi semata harus bergeser ke arah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani dan aktor pertanian lainnya dengan sektor agroindustri sebagai sektor pemacunya (leverage factor).

Agroindsutri Sebagai Sektor Yang Memimpin
Ada tiga jalur pilihan memacu industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi: (a) industrialisasi yang mengandalkan industri berbasis luas (broad-based industry), (b) industri berteknologi canggih dan rumit (hi-tech industry) dan bernilai tambah tinggi, (c) industrialisasi berbasis pertanian yang didukung pertanian tangguh(agro-industry).
Agroindusti dapat menjadi suatu sektor yang memimpin dengan dasar:
  • Memiliki keterkaitan (linkages) yang besar baik ke hulu maupun ke hilir.
  • Produknya mempunyai nilai elastisitas permintaan akan pendapatan yang relatif tinggi (elastis) sehingga makin besar pendapatan masyarakat, akan makin terbuka pasar bagi produk agroindustri.
  • kegiatannya bersifat ”resource base industry”sehingga dukungan dengan potensi sumberdaya alam yang besar merupakan keung-gulan komparatif dan kompetitif dengan pasar global.
  • Menggunakan input yang renewable sehingga keberlangsungan (sustainability) kegiatannya lebih terjamin.
  • Memiliki basis di pedesaan sehingga lebih berakar pada kegiatan ekonomi desa.
Dengan demikian pengembangan agroindustri tidak hanya ditujukan untuk pengembangan kegiatan agroindustri itu sendiri, tetapi sekaligus untuk mendorong kegiatan budidaya (on-farm agribusiness) dan kegiatan-kegiatan lain dalam sistem agribisnis secara keseluruhan melalui efek multiplier (direct, indirect and induced). Hal ini dapat memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pencapaian berbagai tujuan pembangunan.

Wujud Agroindustri yang kuat dan maju mempunyai ciri : (a) Berdaya saing tinggi dan bertumpu pada sumberdaya manusia industrial yang berkualitas dan kemampuan pengusahaan teknologi yang tinggi sehingga mampu menghasilkan produk unggulan yang bernilai tambah tinggi; (b) Struktur industri yang kukuh dan seimbang dengan keterkaitan yang erat, baik antar industri maupun antar sektor industri dengan sektor lainnya, sehingga mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap gejolak perubahan; (c) Industri yang semakin tersebar keseluruh wilayah tanah air dengan memanfaatkan potensi sumberdaya dan posisi geografis Indonesia secara serasi sehingga mampu memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan akses ke pasar dunia; (d) Industri kecil dan menengah yang berkembang semakin andal sebagai tulang punggung pembangunan industri, terutama industri kecil dan menengah sebagai pemasok dan penopang industri unggulan; (e) Prasarana fisik dan kelembagaan yang andal dan mendukung kelangsungan proses inovasi serta pembangunan industri yang berwawasan lingkungan.

Kritik Terhadap Kebijakan Ekonomi Makro
Kebijakan ekonomi makro selama ini kurang mendukung kepentingan pembangunan sektor pertanian karena terlalu bias ke sektor industri manufaktur, jasa dan perkotaan. Ini jelas terlihat baik dalam konteks moneter, fiskal, perdagangan maupun industri. Walaupun ekonomi Indonesia berbasis agraris akan tetapi tidak mempunyai Bank Pertanian, tidak memiliki pabrik alat dan mesin pertanian yang mampu mendorong mekanisasi pertanian, dukungan terhadap temuan teknologi tinggi di bidang pertanian sangat lamban khususnya rekayasa bioteknologi, upaya pengembangan industri hasil pengolahan sangat tidak memadai
Setelah swasembada pangan (beras) dicapai pada tahun 1984, kebijakan makro pembangunan ekonomi langsung melompat (jumping-up) dari pertanian tradisional kepada “broad base and hi-tech industry” dan tahapan agro-based industry diabaikan atau dilewati. Kebijakan ini merupakan suatu kekeliruan yang mendasar karena tidak sesuai dengan teori keilmuan.

Kesemuanya itu karena terbawa arus liberalisasi atau permainan politik bisnis internasional sehingga Indonesia semakin tergantung kepada negara-negara maju. Politik ekonomi pertanian seakan telah mati. Ini tercermin juga dengan diturutinya desakan IMF menurunkan bea masuk beras hanya 30 – 35 % bahkan sempat 0 % sementara Jepang sebagai negara industri menerapkan bea masuk beras sebesar 480 % untuk melindungi petaninya. Demikian pula subsidi pupuk dan pestisida dicabut menyebabkan daya saing produk dalam negeri semakin melemah. Padahal negara-negara maju sekalipun hingga saat ini masih mensubsidi pertaniannya dan sangat protektif terhadap produk pertaniannya sebagai cerminan nasionalisme yang tinggi.
Kompleksitas permasalahan yang dihadapi Indonesia merupakan buah kekeliruan desain dari strategi dan perangkat kebijakan ekonomi makro yang dilakukan dengan pendekatan neoklasik. Dan ini jelas tidak dapat dipisahkan dari visi serta derajat pemahaman ekonomi pertanian para politisi dan mind-set dari pemimpin nasional. **


Sumber:pustaka.unpad.ac.id//dampak_globalisasi_terhadap_pertanian_indonesia

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.