Kebijakan Ekonomi Makro Bias Pertanian : Prasyarat Sustainabilitas Pembangunan Nasional

Artikel Sambungan : Skenario Politik Ekonomi Global


Memudarnya Politik Ekonomi Pertanian di Indonesia
 
Kecenderungannya ekonomi Indonesia berkembang terlepas dari basis sumberdaya yang ada. Industri dikembangkan dengan dasar relokasi dari luar yang mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap barang modal dan bahan baku impor yang justru menguras sumber devisa.

Reformasi ekonomi yang digulirkan seharusnya tidak bisa meninggalkan sektor pertanian yang menjadi kegiatan ekonomi yang paling banyak digeluti rakyat. Selama ini dimensi kebijakan makro yang memper-hatikan sektor pertanian melemah dalam kurun waktu lebih dari dua dekade setelah swasembada beras. Mungkin karena merasa ekonomi nasional dapat didukung oleh sektor industri walaupun tanpa disadari berkembang dengan fondasi yang rapuh. Pada hakekatnya pertanian adalah sumber utama dari keseluruhan pertumbuhan ekonomi bahkan sebagai batu penjuru (cornerstone) dari pengurangan kemiskinan.


Revitalisasi pertanian perlu ditekankan pada peningkatan kapasitas produksi dan pemasaran pertanian (market driven) dengan meningkatkan (a) akses terhadap teknologi dan pengetahuan, (b) akses pengusaha dan petani terhadap kapital, (c) kapasitas jaringan komoditi untuk memfasilitasi perluasan perdagangan.

Kita menyadari tujuan-tujuan pengurangan kemiskinan dan kelaparan, pertumbuhan yang luas, ketahanan pangan dan manajemen sumberdaya alam yang sustainable tidak dapat diwujudkan tanpa pembangunan pedesaan serta perbaikan ekonomi pertanian. Oleh karena itu petani miskin yang merupakan pelaku ekonomi dengan jumlah terbesar harus diberdayakan, bukan justru dianggap “tidak ada” atau perlu “dihilangkan”. Sejalan dengan itu tuntutan keliru Badan Internasional yang berimplikasi pada “meredupnya daya saing” pertanian Indonesia dengan mengikuti hukum-hukum persaingan internasional yang mengharamkan subsidi harus dicermati dengan cerdas.

Kebijakan yang mempajak pertanian dalam rangka memperoleh surplus yang lebih besar secara implisit dan eksplisit telah terbukti “counter productive” untuk mendorong pertumbuhan dan penyediaan kesempatan kerja. Demikian pula kebijakan pangan murah sangat buruk dalam jangka panjang.

Dengan berkembangnya iklim liberalisasi perdagangan dan investasi pada akhir 1980-an dan awal 1990-an yang melahirkan kesepakatan-kesepakatan WTO, AFTA, APEC menyebabkan Indonesia harus mengijinkan impor berbagai komoditi pertanian tanpa bea masuk atau bea masuk rendah yang nyaris menghancurkan pasar dalam negeri komoditi-komoditi pertanian Indonesia.

Nasib Indonesia seperti halnya Asia Timur, krisis keuangan disebabkan “free exit of capital” yang dimulai dengan devaluasi yang manipulatif dari nilai tukar. Devaluasi menyebabkan investasi luar negeri merosot nilainya sehingga kapital luar negeri ditarik keluar, pasar kolaps menyebabkan peningkatan cepat dari NPL (non-performing loans), kerugian bank, bankrut yang berakhir pada kegagalan sistem perbaikan struktural. Devaluasi mata uang mempengaruhi fundamental hubungan “Supply – Demand” dalam sistem perekonomian nasional.

Kurang optimalnya kinerja sektor pertanian dalam 20 tahun terakhir harus menjadi pengalaman pahit bagi Indonesia yang harus dijadikan pelajaran berharga untuk mereorientasi dan mereformasi platform kebijakan pembangunan ekonomi dan pertanian nasional.

Menyimak Politik Pertanian Bangsa Lain
Dalam konteks WTO terdapat paradoks yang sangat mencolok yaitu di satu pihak negara-negara maju seperti AS, Uni Eropa dan Negara G-7 lainnya yang mengandalkan industri dengan teknologi maju dan tingkat pendapatan yang sangat tinggi dalam kenyataannya sangat memproteksi petaninya. Sebaliknya negara-negara berkembang dan miskin yang berbasis pertanian justru melepaskan proteksi kepentingan petaninya karena terperangkap oleh permainan politik ekonomi global yang diperankan terutama oleh WTO dan IMF.

Subsidi langsung atau tidak langsung serta “treatment” lain terhadap petani di negara maju yang demikian besar menyebabkan hasil pertanian di negara berkembang menjadi tidak kompetitif di pasar global. Berbagai hambatan impor produk pertanian premier negara berkembang oleh negara maju dengan bentuk non-tarif menyebabkan negara berkembang sulit menjual produknya. Ini merefleksikan perdagangan yang tidak adil (unfair trade).

Retorika yang dihembuskan negara-negara maju di WTO atau pada forum-forum internasional lainnya tentang free trade seringkali berlawanan dengan kebijakan subsidi dan proteksi yang mereka terapkan untuk melindungi pertaniannya termasuk dumping, subsidi ekspor, dll. Sementara di Indonesia semua bentuk subsidi dikurangi dengan drastis hingga 5% atau dihapus yang justru melemahkan daya saing produk agribisnis nasional.

Itulah sebabnya terjadinya konflik kepentingan negara maju dengan negara berkembang mengakibatkan pertemuan WTO di Concun (Mexico) pada September 2003 gagal karena negara-negara industri maju yang kaya tidak bersedia mengurangi apalagi menghapuskan subsidi atas komoditi-komoditi pertanian yang dihasilkannya dengan alasan keadilan dan kesetaraan antara keperluan aktor pertanian dan industri.

Fenomena yang sangat ironis misalnya, masih banyak penduduk negara berkembang yang hidup < US$ 1/kap/hari, sementara Eropa mensubsidi sapi US$ 2/ekor/hari, US menerapkan kuota atas tekstil Cina pada Maret 2005 padahal pada tahun 1995 sudah menjadi kesepakatan internasional penghapusan kuota mulai 1 Januari 2005.

Sebenarnya apa yang terjadi di WTO adalah bagian dari pola yang lebih luas dari neokolonialisme dalam ekonomi global.
Bersambung di Tuntutan PolitikEkonomi Pertanian Ke Depan

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.