Krisis dibanyak negara dewasa ini jauh lebih kompleks yang membawa konsekwensi sosial, ekonomi dengan implikasi geopolitik. Gelombang ekonomi global diatur dan dikendalikan oleh suatu proses “debt collection” yang mendunia dan cenderung merusak tatanan ekonomi yang ada.
Reformasi ekonomi makro merupakan refleksi konkrit dari sistem kapitalis yang berperan sentral dalam tatanan baru ekonomi global. Sistem pasar bebas dengan motto demokratisasi didukung oleh neoliberal dengan program perbaikan struktural yang disponsori oleh Lembaga Bretton Woods.IMF dan Bank Dunia : DuaSaudara Kembar
IMF dan Bank Dunia merupakan dua saudara kembar
(twin sister) dalam globalisasi. IMF terlibat dan berperan dalam
negosiasi kebijakan-kebijakan kunci yang berkaitan dengan nilai tukar, defisit
anggaran, sedangkan Bank Dunia terlibat lebih jauh dalam proses reformasi
aktual melalui kantor-kantor perwakilannya di negara-negara berkembang dengan
jumlah misi-misi yang bersifat teknis.
IMF juga dengan ketat setiap tahun memonitor kinerja perekonomian negara dalam kontek “Article IV Consultation” yang disebut kegiatan “surveillance IMF” terhadap kebijakan ekonomi negara pengutang. Bank Dunia hadir dalam Departemen/ Kementerian pertanian, pendidikan, kesehatan, industri, transportasi, lingkungan, dll.
Pada tahun 1980-an Bank Dunia mensupervisi privatisasi perusahaan-perusahaan negara, struktur investasi dan komposisi pembelanjaan publik di negara-negara pengutang, di bawah payung “Policy Frame Work Paper (PFP)”. Secara official dokumen pemerintah ditetapkan oleh otoritas nasional, PFP dirancang dibawah supervisi ketat dari IMF dan Bank Dunia sesuai standar yang telah diformat lebih dulu.
IMF juga dengan ketat setiap tahun memonitor kinerja perekonomian negara dalam kontek “Article IV Consultation” yang disebut kegiatan “surveillance IMF” terhadap kebijakan ekonomi negara pengutang. Bank Dunia hadir dalam Departemen/ Kementerian pertanian, pendidikan, kesehatan, industri, transportasi, lingkungan, dll.
Pada tahun 1980-an Bank Dunia mensupervisi privatisasi perusahaan-perusahaan negara, struktur investasi dan komposisi pembelanjaan publik di negara-negara pengutang, di bawah payung “Policy Frame Work Paper (PFP)”. Secara official dokumen pemerintah ditetapkan oleh otoritas nasional, PFP dirancang dibawah supervisi ketat dari IMF dan Bank Dunia sesuai standar yang telah diformat lebih dulu.
Pendekatan atau resep untuk mendukung kebijakan berbasis pinjaman
:
a) IMF : Stand-by
Arrangement, the Compensatory and Contingency Financing Facility (CCFF), the
Extented Fund Facility (EFF), IMF Structural Adjustment and Enhanced Structural
Adjustment Facilities (SAF and ESAF), the Systemic Transformation Facility
(SIF), Emergency Lending Facility for Post-conflict Countries.
b) Bank Dunia : Structural
Adjusment Loans (SAL), Sector Adjust-ment Loans (SECAL).
Pada dasarnya ada 2 tahapan kebijakan yang diterapkan,
Phase 1 : Stabilisasi Ekonomi : (a) Stabilisasi Ekonomi Makro Jangka Pendek
dengan devaluasi, liberalisasi harga, pengetatan budget, yang diikuti dengan,
(b) Pelaksanaan Reformasi Structural yang lebih fundamental sebagai “necessary”. Lebih sering reformasi struktural dilaksanakan konkuren dengan
proses stabilisasi. Praktek stabilisasi IMF – Bank Dunia ditujukan pada defisit
anggaran dan neraca pembayaran (balance of payment).
Kebijakan devaluasi melalui penyetelan kembali harga-harga
domestik pada tingkat harga pasar dunia yang umum. Proses dolarisasi
menyebabkan kenaikan harga sebagian besar komoditi termasuk pangan pokok.
Devaluasi memicu inflasi spiral yang pada akhirnya menyebabkan pemerintah
mengurangi pembelanjaan riil, mengurangi upah riil dan menghentikan pegawai. IMF juga dengan ketat memonitor restrukturisasi Bank Sentral yang
harus bebas dari kekuasaan politik. Negara menjadi sangat tergantung pada
pendanaan yang ber-sumber dari internasional berupa hutang luar negeri. Di
banyak negara berkembang beberapa pejabat bank Sentral sebenarnya adalah bekas
anggota dari Internasional Financial Institution (IFIs) dan Bank Pembangunan
Regional.
Phase 2 : adalah Reformasi Struktural yang paketnya berkaitan dengan
liberalisasi perdagangan, deregulasi sektor perbankan, privatisasi perusahaan
pemerintah (BUMN), reformasi pajak, privatisasi tanah pertanian, penanggulangan
kemiskinan dan good governance.
Hutang dan
Ketergantungan
Program perbaikan struktural dengan motto IMF-Bank Dunia “sakit
jangka pendek untuk manfaat jangka panjang” khususnya untuk negara-negara yang
tidak siap justru cenderung meningkatkan kemiskinan pedesaan dan perkotaan.
Beban hutang negara berkembang meningkat sejak 1980-an dari > US$ 2 triliun pada 1996 meningkat 32 x dari 1970 sebesar US$ 62 juta. Berbagai reskeduling, restrukturisasi dan skim-skim konversi hutang ditawarkan oleh negara pemberi pinjaman yang pada akhirnya masuk kedalam perangkap hutang (debt trap) yang secara perlahan tapi pasti menjurus kepada pudarnya eksistensi atau bahkan kedaulatan negara yang bersangkutan dalam menetapkan kebijakan nasionalnya. Indonesia hingga 2004 terlilit hutang (pemerintah + swasta) US$ 137,03 milyar, dengan kewajiban pembayaran cicilan pokok hutang dan bunga pada 2004 sebesar US$ 22,3 milyar dengan implikasi segala langkah-langkah strategis harus tunduk kepada isi “Letter of Intent” IMF.
Beban hutang negara berkembang meningkat sejak 1980-an dari > US$ 2 triliun pada 1996 meningkat 32 x dari 1970 sebesar US$ 62 juta. Berbagai reskeduling, restrukturisasi dan skim-skim konversi hutang ditawarkan oleh negara pemberi pinjaman yang pada akhirnya masuk kedalam perangkap hutang (debt trap) yang secara perlahan tapi pasti menjurus kepada pudarnya eksistensi atau bahkan kedaulatan negara yang bersangkutan dalam menetapkan kebijakan nasionalnya. Indonesia hingga 2004 terlilit hutang (pemerintah + swasta) US$ 137,03 milyar, dengan kewajiban pembayaran cicilan pokok hutang dan bunga pada 2004 sebesar US$ 22,3 milyar dengan implikasi segala langkah-langkah strategis harus tunduk kepada isi “Letter of Intent” IMF.
Apabila dicermati ada hubungan simbiotis antara kebijakan
manajemen hutang dengan reformasi ekonomi makro. Negara-negara yang menolak
menerima kebijakan korektif IMF akan menghadapi kesulitan serius dalam
reskeduling utang atau memperoleh pinjaman baru berikutnya. Walaupun loan
agreement ditandatangi, pencairan dana dapat ditangguhkan jika pemerintah
negara pengutang tidak konform dalam memenuhi “letter of intent”. Bahkan
bisa masuk dalam daftar hitam dari donor bilateral dan multilateral.
Memang sejak 1980-an bantuan hutang selalu dikaitkan dengan
isu-isu seperti “property alleviation, sustainability, environment”.
Fakta menunjukkan solusi krisis hutang menjadi penyebab hutang lebih lanjut (debt
spiral). Paket stabilisasi ekonomi IMF yang dalam teorinya bermaksud
membantu negara dalam restrukturisasi perekonomiannya dengan cara menghasilkan
surplus neraca perdagangan untuk membayar kembali hutang sebagai proses
penyembuhan ekonomi. Namun kenyataan yang terjadi adalah kebalikannya. Proses
“pengencangan ikat pinggang” yang ditetapkan pemberi kredit merusak penyembuhan
ekonomi dan kemampuan negara membayar hutangnya. Stok hutang meningkat, neraca
pembayaran memburuk, masuknya komoditi impor dari pasar dunia dilanggengkan
bahkan mengarah ke dominasi.
Reformasi ekonomi makro yang diadopsi negara-negara OECD
mengandung banyak resep program-program perbaikan struktural yang diaplikasikan
di negara-negara Ketiga dan Eropa Bagian Timur. Resepnya diseputar pengetatan
fiskal dan kontrol moneter, gelombang merger dan akuisasi korporasi, masuknya
perusahaan multinasional besar melalui sistem “franchising corporate”
yang mengendalikan pasar tingkat lokal, dll.
Stabilisasi ekonomi makro dengan program-program perbaikan
struktural tersebut yang disponsori oleh IMF dan bank Dunia di negara-negara
berkembang sebagai prasyarat untuk renegosiasi hutang luar negeri telah membawa
persoalan sangat serius dari sistem perekonomian negara yang bersangkutan.
Ironisnya proses pengembalian hutang sangat kondusif untuk
memperluas secara sistematis hutang-hutang baru. Berbeda dengan spirit
persetujuan “The Bretton Woods” yang mendasarkan pada rekonstruksi
ekonomi dan stabilitas nilai tukar. Program-program perbaikan struktural
berkontribusi besar terhadap destabilitas perekonomian nasional negara-negara
berkembang pengutang dengan berbagai kondisi sosial yang sangat memberatkan.
Resep-resep kebijakan IMF – Bank Dunia di banyak negara tampaknya
kurang berhasil. Globalisasi kemiskinan diakhir abad 20 meningkat terus sebagai
konsekuensi kelangkaan sumber daya manusia dan sumberdaya material. Ini
terutama disebabkan sistem global yang “oversupply pengangguran dan minimisasi
upah tenaga kerja secara meluas”.
bersambung di Kebijakan Ekonomi Makro Bias Pertanian : Prasyarat Sustainabilitas Pembangunan Nasional