NYANYIAN PARA PENJILAT


Baru saja lepas minum secangkir kopi dari warkop ternama. Tiba-tiba tangan ini tergerak otomatis karena mendengarkan cerita tentang tabiat orang-orang yang belakangan ini semakin rajin benyanyi soal-soal pembangunan untuk menjilat mereka yang tengah berkuasa.
Ada kekhawatiran saja. Jangan-jangan ini pertanda negeri kita mengalami goncangan hebat karena krisis pemimpin yang otentik.
Memang sebuah hal yang tak bisa dibantah, Semangat berebut kuasa dan pengakuan peran di sektor publik belum sepenuhnya ditopang etika publik yang memadai. Distorsi kebijakan dan perangai pembangunan yang kita saksikan di banyak tempat nyaris lebih dominan aroma ramainya, ketimbang substansinya bagi kemajuan bersama.
Disisi lain pejabat publik sangat mudah tersinggung jika disinggung kapasitasnya dalam mengeksekusi sesuatu. Ketika aspirasi dari akar rumput mengalir langsung muncul tabiat yang cenderung membela diri.
Sedikit sekali yang mau belajar agar lebih peka dan bersedia mengevaluasi kinerjanya untuk mencapai suatu perbaikan mutu yang lebih efektif untuk pembangunan. Malah kecenderungan terjadi justru sok tahu dan sok kuasa. Padahal, prinsip good governance amat menekankan dimensi akuntabilitas dan partisipasi publik.
Kepekaan dan kesediaan untuk terus belajar tak lagi menjadi perhatian. Terlalu mudah merasa hebat dan mampu mengerjakan perubahan. Memerintah dengan mental priyai lebih ditonjolkan daripada model seorang pelayan masyarakat.
Inilah hal ikhwal yang menjadi titik awal mengapa muncul kebohongan, distorsi kenyataan, dan orang-orang berperangai menjilat pelan-pelan mulai menjadi candu di lingkungan organisasi pemerintahan.
Semakin hari nyanyian para penjilat kian bergema untuk urusan-urusan yang mestinya harus objektif dan observatif. Tak perlu khawatir berlebihan. Negeri kita sudah terbiasa dengan para ahli tafsir dan para tukang yang setiap waktu bisa menjadi alat dan diperalat oleh siapa saja.
Sebenarnya tidak sulit untuk membaca mengapa muncul keluhan-keluhan masyarakat entah muncul karena kesadaran ketidakadilan, atau hanya karena tergiring opini. Semua itu memang bukan sepenuhnya kesalahan pemerintah.
Tapi sebab yang bisa memperparah situasi itu karena pemimpin gagal menancapkan keteladanan dan konsistensi dalam melaksanakan janji-janjinya yang dipertaruhkan untuk rakyat. Visi besar tanpa konsistensi hanya akan membuahkan publikasi. Hal seperti itu tak akan pernah menjadi rujukan bagi kehidupan yang lebih baik. Respek yang diperoleh hanya akan berusia sepanjang periode jabatan itu sendiri.
Kata seorang yang bijak "Tak ada kekuasaan yang bisa bertahan dengan fondasi akal-bulus, kekerasan, dan materialisme". 
Tentu, penegasan seperti ini tidak berlaku atau tidak terlalu menarik bagi mereka yang pandai menjilat pejabat. Seperti kata seorang bijak yang tak ingin saya sebut namanya di tulisan singkat ini. "Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mereka selain menunggu hukum hidup yang akan memberikan ganjaran". Semoga orang-orang seperti ini tidak ada di daerah Bolaang Mongondow Utara.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.