Rahmat J. Buhang, S.Pt, M.Si (Penulis) |
Tahapan pemungutan dan perhitungan suara pada Pilkada serentak tahun 2018, telah di tetapkan pada hari Rabu tanggal 27 JUNI 2018, Jika dilakukan perhitungan mundur, maka Pilkada serentak khususnya di Bolaang Mongondow Utara tinggal 8 bulan 1 hari. Sesuai dengan regulasi yang dituangkan dalam PKPU no 1 tahun 2017, maka saat ini Pilkada serentak telah memasuki tahapan persiapan. Tahapan pendaftaran pasangan calon akan berlangsung pada 8 – 10 Januari 2018 atau kurang lebih 3 (tiga) bulan dari sekarang.
Kalau kita menyimak perhelatan demokrasi yang saat ini sudah bergulir sejak beberapa bulan terakhir ini, tentu kita sebagai masyarakat telah memberikan respon yang sewajarnya terhadap dinamika dan wacana, isyu para bakal calon yang mengemuka saat ini. Berbagai media cetak baik Spanduk, baliho, stiker, brosur dan terutama media sosial dan media on line sudah di gunakan oleh sekian banyak kandidat yang BERKEINGINAN untuk maju dalam agenda Demokrasi yang tidak lama lagi akan berlangsung.
Tentang Frasa Topik
Segala rupa perdebatan, opini dan wacana di suguhkan baik oleh kandidat langsung maupun para tim pendukungnya. Bagi saya sebagai penulis, hal ini bagian dari realita sosial politik kita di Bolaang Mongondow Utara. Akan tetapi ada hal yang mengusik dan menggelitik ruang berfikir saya ketika mencermati wacana dan opini yang berkembang saat ini di kalangan pendukung maupun masyarakat pada umumnya. Di latarbelakangi opini dan wacana tersebut, maka saya memilih topik tulisan ini. Pada Frasa pertama yakni PILKADA Bolaang Mongondow Utara dimaksudkan untuk menjelaskan tentang agenda dan lokusnya sedang pada Frasa kedua tentang Rakyatnya Di Mana ? merupakan kritik sosial politik penulis terhadap dinamika dan realita opini serta wacana yang berkembang saat ini.
RAKYATNYA MANNA ?, pertanyaan yang dikemukakan tersebut menggunakan “tasjid”. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan kepada pertanyaan itu agar kita semua mau memberikan perhatian pada kata sebelumnya yakni Rakyat. Kata Rakyat tentu kita semua tahu, dalam sebuah sistem pemerintahan apapun dan di manapun maka rakyat adalah mereka yang di pimpin oleh para pemimpinnya. Dalam istilah kaidipang ‘SUANGO LIPU” .
RAKYATNYA MANNA ?, pertanyaan menggelitik ini dicuplik dari sebuah iklan layanan masyarakat salah satu perusahaan penjualan online, dengan frasa SEPEDANYA MANA ???. Pada iklan tersebut hanya dengan mengklik salah satu fitur pada smartphone maka sepedanya langsung muncul dengan tiba-tiba seperti diantarkan oleh mahluk jin. Akan tetapi ketika pertanyaan itu diubah menjadi RAKYATNYA MANA ???, maka tidak ada satu produk smartphone yang secanggih apapun dapat menghadirkannya secara tiba-tiba. Pertanyaan tentang RAKYATNYA MANNA ? pada khakekatnya bukan di maksudkan untuk mengadakan rakyat yang tadinya tidak ada. Karena sesungguhnya rakyat Bolaang Mongondow Itu ada dan sudah ada sejak ratusan tahun yang silam. Sudah ada jauh sebelum Kabupaten Bolaang Mongondow Utara definitif menjadi daerah otonom baru (DOB). Lalu !, untuk apa lagi di tanyakan rakyatnya ???. Pertanyaan ini dikemukakan dalam konteks Pemimpin dan rakyatnya “ Togi Lipu dan Suango Lipu”. Kong ??? apa hubungannya ???. Hubungan pertanyaan ini penulis coba rangkaikan dengan pengalaman, fakta kekinian, wacana dan opini publik yang berkembang saat ini.
Tentang Tujuan Tulisan ini
Penulis sebagai salah seorang putra daerah yang ditengah hiruk pikuk dinamika sosial, politik dan pemerintahan yang ada, tidak lebih hanyalah sebagai rakyat biasa yang keseharian diamanahkan untuk mendampingi desa, yang juga punya mimpi dan harapan agar desa dapat terbangun dalam sebuah dinamika sosial, politik dan pemerintahan yang egaliter, humanis dan bermartabat. Menjadi pusat-pusat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, kreatifitas dan inovasidengan mengedepankan cara-cara musyawarah untuk menyelesaikan permasalahnnya sebagai implementasi sila ke 4 Pancasila “ Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmad KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/Perwakilan.
Dalam membuat tulisan ini, penulis benar-benar melepaskan diri dari kepentingan politik para kandidat, sehingga apa yang di tuliskan ini benar-benar mewakili fikiran dan pemahaman saya tentang ideologi demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Mudah-mudahan tulisan ini juga mewakili pemikiran sebagian besar masyarakat Bolaang Mongondow Utara.
Disamping itu semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan pemikiran sekaligus menjadi bagian dari proses pendidikan politik bagi masyarakat dan para elit di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Maka melalui tulisan ini, saya mengajak kita semua untuk memaknai proses demokrasi Pilkada ini tidak hanya terbatas pada pemahaman yang primordial apalagi primitif. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama kita semua secara bersama mampu mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan sejahtera dalam makna yang sesungguhnya. Disinilah sesungguhnya peran rakyat dalam sebuah proses demokrasi modern menjadi sangat di butuhkan.
Dalam mengelaborasi topik yang diketengahkan kali ini, penulis akan mengulas pada dua pokok ulasanyakni :
- Sepenggal Nostalgia Bolmong Utara
- Pilkada Bolaang Mongondow Utara, Rakyatnya Manna ???
Sepenggal Nostalgia Bolaang Mongondow Utara
Sebelum menguraikan tentang topik di atas, terlebih dahulu saya akan mengulik sedikit tentang nostalgia masa lalu yang diharapkan akan menjadi inspirasi bagi generasi dan pemerintah saat ini dalam membangun peradaban Bolaang Mongondow Utara yang egaliter, humanis dan bermartabat dalam mewujudkan kesejahteraan yang hakiki.
Ingatan saya tentang Bolaang Mongondow Utara sebelum menjadi daerah otonom baru mungkin tidak terlalu banyak namun setidaknya dapat memberikan sedikit deskripsi tentang kehidupan sosial masyarakatnya. Oleh karena itu riwayat dahulu yang di tuliskan berada pada kisaran wilyah yang terjangkau penulis pada waktu itu serta pada kurun waktu tahun 80 an saat masih bersekolah di SD sampai SMP. Banyak kenangan indah yang sulit di lupakan, saat itu kenderaan (mobil/sepeda motor) masih sedikit, banyak orang berjalan kaki, tidak ada telepon apalagi HP, tv hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu dengan tiang antena yang menjulang tinggi, listrik baru mulai masuk, menyala malam hari sampai pukul 24.00. ketika masim kering debu jalanan beterbangan dan kala musim penghujan banyak sekali genangan air dan jalanan yang becek.
Namun kehidupan sosial masyarakat pada saat itu begitu egaliter, setiap mau berangkat ke sekolah bertemu dengan para petani yang hendak ke sawah dan ladang mereka, mendengar tiupan kerang para penjual ikan, mendengar deburan ombak pantai batu pinagut. Di kala malam, keheningan desa begitu terasa, saat-saat sesama keluarga saling berkunjung bercerita tentang silsilah dan bertutur tentang kehidupan satu sama lain.
Tuk… tuk… tuk… Palakato gubunia ina, onggomai pamarentdha kodualomia kambungodan seterusnya, sontak orang-orang menghentikan pembicaraan serta mengecilkan suara radio dan dengan seksama mendengarkan pemberitahuan pemerintah desa. Sebuah media komunikasi yang cukup efektif dan merakyat di saat itu yang disampaikan dalam komunikasi lisan.
Setiap hari selasa ada pasar Boroko dan hari rabunya ada pasar Bolangitang. Pada hari-hari tersebut banyak sekali siswa/murid yang membolos dari sekolah hanya untuk menyaksikan atraksi sulap dari penjual obat. Istilah kami dahulu adalah “penyebar obat”. Asyik sekali. Sembari membeli kukis Wapili. Ada juga pedagang yang di kenal dengan “ mana-mana doi taata “. Masih banyak lagi cerita tentang pasar yang tidak dapat di tuturkan dalam tulisan ini.
Lapangan kembar boroko menjadi saksi bisu ratusan bahkan mungkin ribuan orang duduk berhimpitan di temani oleh kain sarung lusuh. Ibu-ibu yang mengendong anaknya, orang tua dengan sebatang rokok / tembakau lilit, seksama menyaksikan sebuah layar yang tertancap di tengah lapangan. Film koboi mokodeso doi, itulah plesetan anak-anak saat mendengarkan publikasidari mobil sebuah perusahaan produsen obat. Sambil berkejaran mengikut di belakang mobil yang sedang mempublikasikan pemutaran film di layar tancap.
Cerita lain tentang lapangan kembar adalah pesta rakyat yang setiap tahunnya di gelar dan mendapatkan antusias dari seluruh lapisan masyarakat saat itu. Tua – muda, lelaki – perempuan, dewasa-anak-anak. Mulai dari membangun sarana kegiatan sampai dengan pelaksanaannya. Kegiatan tahunan itu di kenal populer dengan istilah PORSENI, gedung panggung yang dibangun swadaya juga di beri nama gedung PORSENI.
Berbagai macam lomba dan pertandingan di gelar, seni suara, tarian, dana-dana/samra, qasidah, vocal group, vocalia, paduan suara (dulu istilanya banding koor), puisi, di bidang olahraga ada sepak bola, volly ball, lari estafet, kasti, balap sepeda, lombah perahu dayung, ada lomba lolakoa (engran). Waw…. asyik sekali, Semua even berjalan dengan sangat baik dan lancar. Ada protes ketidakpuasan, ada perkelahian kecil tapi semuanya larut dan melebur dalam kebersamaan sebagai sebuah rumpun keluarga yang satu.
Di lapangan kembar itu juga satu permainan perlombaan yang paling menarik perhatian orang pada saat itu adalah lomba layang-layang burung. Hmmm. Masih terlintas jelas dalam ingatan di saat ada layangan yang putus, maka anak-anak sudah bersiap untuk mengejarnya karna sasaran lokasi jatuhnya layangan. Sayup-sayup terdengar dari lapangan almarhum guru Jen (penulis tidak ingat nama lengkap beliau) yang memohon agar layangan tersebut tidak di ambil dan di kembalikan kepada panitia.
Di kampung-kampung permainan (dolanan) anak begitu marak, penulis masih ingat mainan tali garis dengan pelanggaran yang sangat dihindari pemain yakni “Kurung dua mati” , permainan tawanan, kausa, hurunga, pakia (gasing) , bola kalat (bola kaki), Lompat Tali, Tumbu-tumbu blanga, Rombou, Inje, Gogutupa. Permainan perang-perangan gogutupa antara anak-anak Boroko, Kuala dan Bigo menambah semarak suasana saat itu. Gelak tawah boca-boca kampung begitu menghiasi hari-hari sore sampai menjelang senja, semua berjalan begitu egaliter, humanis penuh kekeluargaan. Di malam harinya anak-anak bermain mototuuka (petak umpet) aturannya “ baku paak atau baku tur “ atau main ular-ularan yang di terangi cahaya bulan purnama.
Di sekolah anak-anak begitu disiplin dan patuh terhadap gurunya, ada siswa/murid yang nakal dan bandel namun semuanya dapat di atasi oleh sekolah. Di SMP istilah yang disegani oleh siswa dan orang tuanya adalah “Dewan Guru”. Namun di balik semua itu rasa empati dan kasih sayang serta ketulusan guru kepada murid/siswanya begitu terasa, mungkin karena gaji mereka kecil.Mengajar dengan kapur tulis yang sering berakibat guru mengalami batuk berkepanjangan. Guru-guru begitu keras mendidik tapi prestasi demi prestasi dan karakter siswanya terbentuk secara positif.
Pasa sisi lain, pusat kesehatan dan layanan kesehatan masyarakat di waktu itu berada di kompleks masjid. Paramedis yang ada saat itu, ada alm. Mantri Udin sebagai kepala puskesmas, ada Ses/bidanHali (almah) , Ses Nani, Ses Salma dan menyusul mantri Kanda. Pelayanan di Puskesmas saat itu begitu egaliter. Semua orang yang sakit di perlakukan sama. Pasien yang berpakaian rapi maupun yang “hugo” semua di layani. Obat selalu tersedia. Semua ruangan bersih tidak ada sampah berserakan. Air minum untuk pasien selalu tersedia bahkan air panas dalam termus tersedia. Hmmm… mereka melayani dengan penuh ketulusan. Boleh di bilang para pasien sudah sembuh sebelum minum obat.
Ada lagi nostalgia tentang petani dan sawah-ladangnya. Dahulu para petani melakukan penanaman padi saat musim penghujan dan dilakukan sekali setahun. Pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan bajak yang di tarik oleh sapi atau kerbau bahkan di cangkul. Saat-saat mengasyikkan adalah ketika mulai di lakukan penanaman baik di sawah maupun ladang. Sang pemilik/petani mengundang tetangga dan sanak famili “Molihuto momula”. Bila saat libur sekolah anak-anak ikut orang tuanya bersama-sama “Molihuto”. Mereka bertugas mengangkat bibit dari persemaian ke lokasi penanaman. Biapong, Sokora, Tindhalal atau Kalupa dengan Kopi adalah padanan kuliner yang lazim di suguhkan. Sembari duduk di pamatang sambil bercanda “Pilisiir”. Dengan tradisi ini maka pekerjaan diselesaikan dengan mudah. Alhamdulillah, padi sudah di tanam. Varietas padi yang sangat populer saat itu di antaranya adalah jenis Nurdin dan Yenti sedangkan untuk padi ladang adalah jenis padi Temo. Hmmm, makyuss dan harum di kala ritual makan beras baru. Di kala panen datang, tradisi molihuto masih tetap melekat di masyarakat. Masyarakat memanen padi dengan cara memotong pada bagian tangkai bulir padi. Alat yang di gunakan dikenal dengan “Ani-ani” dalam istilah kaidipang Danggapa. Padi yang di panen selanjutnya di letakkan di lumbung yang di kenal dengan islilah Lambuka (terbuat dari anyaman bambu dan Bosungo (terbuat dari pelepah sagu). Molihuto juga dilakukan pada kegiatan pasca panen “molutoko”yaitu proses pemisahan bulir padi dari tangkainya dengan cara mengijak. Yang tidak kalah hebo pada saat menumbuk padi. Wuii.. ramai sekali bunyi lesung (losungo) dan alu (lolobuko) sembari dimainkan dengan irama-irama khas di iringi tawa dan candaan para mama-mama. Hmmm.. Masih banyak lagi nostagia tentang petani.
Lalu apa hubungannya dengan tema tulisan tentang Pilkada ?. Apakah penulis berharap pemimpin yang akan datang harus mengembalikan keadaan seperti itu ?, Sekali-kali tidak !, dan hal itu tidak mungkin terjadi. Pesan utama yang ingin penulis sampaikan kepada kita semua bahwa kehidupan pada saat itu yang menurut ukuran kita sekarang sulit dan susah dengan Infrastruktur dan sarana prasarana sangat minim, serba terbatas,banyak masyarakat miskin. Namun sesungguhnya dengan kehidupan sosial yang begitu egaliter, maka masyarakat di saat itu prinsipnya sejahtera. Jika saja saat itu sudah di kenal metode perhitungan indeks kebahagiaan dan boleh jadi nilai indeksnya lebih tinggi di bandingkan dengan masyarakat yang ada saat ini.
Pilkada Bolaang Mongondow Utara, Rakyatnya Manna ???
Setelah sedikit bernostalgia, maka pada pokok ulasan ini penulis akan mendekripsikan kondisi terkini Bolaang Mongondow Utara yang secara khusus dalam konteks menghadapi Pemilukada tahun 2018. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara telah berlangsung dua kali dan sedang menuju kali ke tiga. Masing-masing Pemilukada tahun 2008, tahun 2013 dan Insha Allah tahun 2018.
Saat ini rakyat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara sedang menyongsong pesta demokrasi pemilihan Bupati dan Wakil Bupati. tepatnya akan berlangusng pada tanggal 24 Juni 2018. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang termuat dalam Peraturan KPU No 1 tahun 2017, maka saat ini sudah mamasuki tahapan persiapan. Namun berbagai pernak-pernik dan langka bidak mulai di mainkan. Geliat jurus dan strategi di jalankan dalam rangka menarik minat dan simpati warga masyarakat. Berbagai media di gunakan mulai dari media cetak, media sosial bahkan hajatan sosial warga dipakai dengan dalih kata hati keluarga maupun sambutan atas nama pemerintah.
Dari sekian banyak statement yang di ungkapkan baik secara lisan maupun tertulis, pada media cetakan maupun media hajatan sosial serta media sosial, media cetak dan mungkin media elektronik. Penulis hanya akan memfocuskan pembahasan pada aspek idiologi dan hakikat demokrasi. Dalam beberapa kesempatan penulis mencoba menyimak pesan-pesan politik para bakal calon yang saat ini mengemuka. Bagi saya pesan-pesan tersebut merupakan miniatur visi atau karakter idiologi mereka. Oleh karena itu frasa tentang Rakyatnya Manna ?, merupakan kritik pemikiran yang hendak kami ketengahkan dalam ruang dialog publik. Mudah-mudahan kritik ini menjadi bahan pemikiran bersama yang di harapkan akan menghasilkan pemilukada beserta outputnya yang lebih berkualitas. Di pokok akhir tulisan ini penulis memberikan gagasan sebagai solusi dalam memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam Pemilukada tahun 2018.
RAKYATNYA MANNA ?, Pertanyaan itu memiliki makna dan substansi yang begitu luas dan mendalam. Tidak di khususkan pada para bakal calon dan calon semata. Lebih jauh lagi bagi mereka yang akhirnya di tetapkan sebagai pemegang mandat rakyat yang akan menjadi pemimpin rakyat Bolaang Mongondow Utara pada periode tahun 2018-2023.
Kita coba memulainya pada geliat dan pernak-pernik Jargon, Slogan, Tagline yang di tampilkan oleh para bakal calon baik pada media cetakan (baliho/stiker) maupun media sosial. Sekali lagi bagi penulis frasa yang di tuliskan dalam jargon, slogan atau tagline tidak bisa sekedar di artikan sebagai pemanis atau pelengkap gambar serta rangkaian kata-kata tanpa makna atau tidak perlu dimaknai. Namun pada konteks tersebut penulis menterjemahkan pesan yang terkandung bahkan lebih dalam lagi hal tersebut mewakili idiologi dan karakteristik para bakal calon/kandidat. Mungkin kita semua sudah pernah membacanya. Untuk sekedar mengingatkan beberapa Jargon/tagline yang sering kita temui di antaranya sebagai berikut :
- Jargon/tagline “ Lanjutkan DP (Dua Periode)
- Jargon/tagline “Mohopotopa”
- Jargon/tagline “Untuk Bolmut”
- Jargon/tagline “ Biarkan Rakyat Memilih”
Ke empat jargon tersebut mewakili empat figur yang kemungkinan akan berpartisipasi dalam pemilukada tahun 2018 nanti. Jika kita menelaah lebih lanjut semua jargon tersebut, maka mungkin kita bisa sependapat bahwa sampai dengan memasuki tahapan persipan dan mendekati tahap pelaksanaan, kita sebagai masyarakat disuguhi oleh pesan politik yang di komunikasikan kepada publik. Namun sangat disayangkan pesan tersebut hanya berbicara tentang diri MEREKA. Sehingga sudah selayaknya melalui tulisan penulis menyampaikan pertanyaan RAKYATNYA MANNA?.
Pertanyaan ini sengaja dikemukakan lebih awal agar ada kesempatan bagai para bakal calon untuk mengkonstruksi atau merekonstruksi visi/ideologi kandidat. Sekedar untuk mengelaborasi jargon tersebut, maka secara ringkas penulis menilai bahwa apa yang hendak di komunikasikan tersebut tidak lebih dari hanya sekedar berbicara tentang diri mereka yang di landasi hasrat besar untuk berkuasa.
Lalu RAKYATNYA MANA ?, inilah pokok dan subtansi pesta demokrasi itu di gelar. Seyogyanya semuanya di persembahkan untuk rakyat. Rakyat Bolaang Mongondow Utara selayaknya menikmati hasil proses demokrasinya secara berkeadilan. Jika semuanya di awali tentang diri kandidat, maka biasanya semua akan berakhir pada diri mereka. Masih ada kesempatan untuk mengkonstruksi atau merekonstruksi visi dan ideologinya. Ini penting untuk kesejahteraan rakyat. Karena parameter yang digunakan dalam menilai keberhasilan seorang pemimpin di daerah adalah kesejahteraan rakyat.
Lalu apa parameter kesejahteraan rakyat ?
Dalam berbagai referensi/literatur tentang paradigma pembangunan, parameter makro yang sering di gunakan untuk menilai keberhasilan pembangunan diantaranya meliputi pertumbuhan ekonomi yang di ukur pada pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto, Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Indeks (IPM/HDI) yang terbentuk dari tiga dimensi dasar yakni rata-rata usia harapan hidup, pendidikan/pengetahuan serta standar hidup layak. Paramater lain dalam mengukur keberhasilan suatu pembangunan adalah Angka Kemiskinan, Gini Ratio, Tingkat Inflasi dan Laju Investasi. Pada setiap sektor/bidang pembangunan juga memiliki indikator pengukuran kemajuan atau progress pembangunan. Misalkan di sektor/bidang pendidikan dan kesehatan, sektor/bidang pertanian ada indikator Nilai Tukar Petani (NTP), perikanan, industri. Di desa ada parameter Indeks Desa Membangun (IDM). Semua parameter itu bermuara atau berbasis kepada Rakyat yang mengindikasikan ada dan tidaknya perbaikan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat.
Hal ini penting di kemukakan karena selama ini, pemerintahan yang terbentuk lebih banyak mengumbar keberhasilannya pada indikator yang bernama WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Seolah-olah kalau sudah meraih predikat tersebut tugas sudah di jalankan dengan baik dan rakyat sudah sejahtera, daerah sudah maju. Padahal indikator itu tidak lebih hanya sebagai indikasi kemampuan aparatur (PNS) mengelolah keuangan dalam sistem administrasi sebagaimana di atur dalam ketentuan perundang-undangan. Pada parameter ini tidak ada Rakyat, yang notabenenya telah berpartisipasi dalam proses demokrasi dan menghasilkan pemerintahan yang bertugas mengkoordinir pengumpulan dana pembangunan bernama pajak dan merupakan porsi terbesar sumber pendapatan negara. Selanjutnya pajak tersebut di kelolah oleh pemerintah, digunakan untuk membangun dan tata kelolah itu yang menghasilkan predikat WTP, WDP, Tidak Wajar atau Disclaimer.
WTP, WDP, Tidak Wajar dan Disklaimer sama sekali tidak memiliki relevansi dengan kesejahteraan rakyat tapi justru hanya relevan dengan kesejahteraan aparatur pemerintah (PNS) yang mungkin diganjar dengan tambahan penghasilan yang bernama Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP).
Penulis tidak akan menguraikan lebih lanjut tentang tetek bengek indikator-indikator tersebut di atas, point utama yang hendak kami ketengahkan adalah sejauh mana para kandidat ini memiliki kekuatan visi dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat Bolaang Mongondow Utara. Seberapa mahfum para kandidat ini tentang kesejahteraan rakyat. Dari mana mereka akan memulai kesejahteraan itu ?, khusus bagi calon Incumben/ Petahana sampai dimana kesejahteraan rakyat itu telah dicapai yang notabenenya merupakan titik nol bagi periode selanjutnya. Apakah kesejahteraan rakyat itu terpatri dalam relung-relung hati mereka. Atau hanya sebatas pada lips service belaka.
Hal ini perlu kita uji dalam sebuah agenda panel uji publik. Guna mengetahui bagaimana para kandidat mewujudkan visi dan misi mereka. Penting sekali untuk kita uji, karena rakyat sekarang menuntut akselerasi pembangunan yang handal dan jitu. Bila para kandidat tidak dapat menguraikan hal tersebut secara komprehenship, maka patutlah kita meragukan komitmen mereka untuk membangun negeri ini. Bagaimana mereka mengevaluasi kabinetnya ?. Bagaimana mengetahui bahwa ada tidaknya perbaikan kualitas manusia. Sekali lagi penting untuk kita gugat karena hal ini menyangkut nasib 70 ribu rakyat Bolaang Mongondow Utara.
Sebagai Rakyat kita tidak boleh “membeli kucing dalam karung”. Sebagai rakyat kita akan bertanya. Kami di letakkan di mana ?. Jika mereka hanya berbicara dan bercerita tentang diri mereka serta hasrat berkuasa namun tidak mampu menguraikan apa khakikat demokrasi dan ksesejahteraan rakyat, maka dapat dikatakan bahwa mereka hanya layak secara finansial, layak dari sisi populritas, layak dari sisi garis keturunan kaum bangsawan / borjuis tetapi, TIDAK LAYAK dari aspek ideologis. Rakyat tidak akan memperoleh apa-apa selain sisa-sisa pesta pora para jawara.
Mengakhiri tulisan ini, sebagai muhasabah bagi kita semua, sebuah riwayat tentang seorang khalifah yang sangat di segani oleh rakyatnya di seantero wilayah kekuasaanya yang harus merelakan punggungnya memikul gandum untuk satu keluarga miskin yang kelaparan. Aliran air mata ketakutan khalifah untuk amanah yang di embannya. “Engkau tidak dapat memberikan perlindungan saat aku di tuntut oleh rakyatku di yaumil akhir karena kealpaanku pada amanah” begitu kalimat sang khalifa tatkala panglima perangnya meminta untuk mengganti memikulkan karung gandum tersebut.
Zaman sekarang mungkin akan dinilai LEBAY, jika seorang Bupati atau Wakil Bupati harus memikul karung beras untuk rakyatnya yang masih miskin. Tetapi yang dilakukan setidaknya mengukur dan mengkaji serta memberikan perhatian pada kemiskinan dan ketimpangan, pendidikan dan pelayanan kesehatan agar akan terjadi loncatan pembangunan khususnya pembangunan sumberdaya manusia di negeri kita tercinta.
wassalamu alaikum
Penulis : Rahmat J. Buhang, S.Pt, M.Si
Penulis : Rahmat J. Buhang, S.Pt, M.Si