Gerakan 98 Simbol Perlawanan Wajah Korupsi di Indonesia


Dalam catatan sepanjang sejarah dunia, banyak hal yang terulang. Pembaru besar di Cina, Wang An Sahih (1021-1086) dalam usahanya memberantas korupsi terkesan oleh dua sumber korupsi yang senantiasa terulang, buruknya hukum dan buruknya manusia. Termasuk korupsi tingkat dunia adalah Indonesia; dalam laporan lembaga Transparency International (TI) Indonesia 2007, menyatakankan negara Indonesia masuk kategori terkorup dari peringkat nomor 38 setelah Togo, Rusia, dan Gambia.

Hal ini menujukan runtuhnya sendi-sendi pemerintahan dikarenakan rusaknya moralitas generasi anak bangsa yang tidak memiliki landasan berserikat dalam cita-cita untuk menegakkan negara yang adil dan beradab. Sejarah mengukirnya ketika masa pemerintahan Ode Lama berkisar tahun 1961-1963 praktek korupsi terjadi di karsidenan Bengkulu, di masa kekuasaan pemerintahan Orde Baru selama tiga puluh tahun praktek korupsi terulang kembali dari tahun 1973-1998 tentang distribusi kekuasaan banyak disalahgunakan untuk wewenang pribadi, kelompok dan golongan politik. Lengsernya pemerintahan Orde Baru dengan bersatunya kekuatan elemen masyarakat, baik dari kalangan politikus, cendekiawan, mahasiswa dan masyarakat memetakan agenda reformasi secara utuh untuk menciptakan tatanan negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Kita memandang dalam memberantas korupsi, tidak hanya berhenti setelah cita-cita agenda reformasi kekuasaan Orde Baru tumbang; tetapi kita terus tanpa henti-hentinya memiliki spirit dalam memantau roda pembangunan pemerintah kabinet kerja saat ini.

Yang masih sangat segar dalam benak ingatan pikiran kita dalam sejarah perjuangan anak bangsa yang mencengkam dalam melawan tindakan korup, kolusi dan nepotisme di masa pemerintah rezim Orde Baru berkuasa sejak tiga puluh tahun kekuatan Orde Baru tumbang di bulan Mei 1998, di antara faktor pemicunya terjadi krisis moneter yang berkepanjangan mempengaruhi berbagai ragam aspek pembangunan di antaranya sektor industrialisasi, daya beli semakin menurun dan pertumbuhan ekonomi rakyat menjadi terbatas; dan tidak sesuai dengan kenyataan yang di cita-citakan istilah dalam pembangunan nasional disebut trickle donw effect hanya dinikmati kalangan terbatas. Dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi terasa langsung. Dan arah kebijakan pembangunan nasional pada saat itu terbukti dalam bentuk impian atau ilusi para perencana pembangunan saja. Yang terjadi malah sebaliknya yaitu eksploitasi, dan kolonialisasi di daerah pedalaman Indonesia oleh pusat-pusat ekonomi negara maju, serta mendiktenya arah pertumbuhan ke dalam kepentingan dunia. Termasuk yang bisa kita perhatikan adalah model kebijakan pembangunan pemerintah saat ini harus bersih dan bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotis di antaranya yang sangat rentan korup di BUMN atau BUMD baik bidang pertambangan, perkebunan, industri, telemonikasi transportasi, dll.

Memerangi korupsi dalam bentuk ragam aspeknya banyak yang bisa kita tawarkan di antaranya: Pertama, kita tahu keadilan dalam pendekatan sosial bahwa lingkungan masyarakat yang sakit akan melahirkan dan berkembangnya tradisi-tradisi korup; baik tradisional yang menerapkan nilai-nilai patrimonial, dalam bahasa Weber (1864) birokrasi kekuasaan yang bertumpu pada kekuasaan feodal (wirtschaft und geselscaft); maupun menuju tahap moderen yang cenderung konsisten dengan prinsip rasional (zwerk rational) untuk mendapatkan efisiensi dan efektivitas kerja. Keduanya tersebut masih dimungkinkan terjadi korup bila insan manusiaannya tidak mengembalikan persoalan kepada jalan yang benar. Kedua, keadilan dalam pendekatan teologis artinya bahwa bangsa Indonesia identik dengan budaya ketimuran.

ini sering disebut sebagai dimensi normatitivitas yang bersifat tetap dalam menciptakan tatanan peradaban masyarakat yang religius; dalam bahasa Ibnu Khaldun (1332) kekuasan yang luas dan memiliki kedaulatan yang kuat, didasarkan ad-dinu imama nubuwati wa dakwatu al hak (seruan akan kebenaran). Karena itu korupsi dapat dilawan melalui keadilan dalam pendekatan sosial, dan pendekatan teologis (ajaran agama); keduanya menjembatani manusia untuk kembali kepada bentuk fitrahnya sebagai makhluk sosial ciptaan Tuhan. Bahwa korupsi adalah tindakan patologis sosial, demikian juga dilarang oleh semua bentuk ajaran agama-agama di dunia.

Budha ada cattari ariya saccani, Kristen ada asketicis, dan Islam ada iman; semuanya di masa kejayaan sejarah agama-agama dunia memiliki visi yang suci dan misi memerangi tindakan korupsi untuk mewujudkan keadilan. Semua bentuk ajaran agama sebagai kawasan teologis yang membentuk keyakinan, doktrin, kesucian dalam ajaran agama-agama khususnya di Indonesia untuk melawan bentuk praktik korupsi, dan sampai terciptanya tatanan dinamika masyarakat agama yang berketuhanan maha Esa. Dengan demikian asas keagamaan sebagai ajaran yang akan membentuk pribadi masyarakat yang adil, bebas dari penyimpangan korup, jika kepribadian sebagai makhluk sosial di dalamnya terdapat darma, cattari ariya saccani, asketicis dan iman.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.